PT IUPD adalah perusahaan pengolahan inti sawit yang menghasilkan Crude Palm Kernel Oil (CPKO), salah satu bahan penting dalam industri minyak nabati. Dalam kegiatan usahanya, PT IUPD menjual produknya baik ke pasar lokal independen maupun ke perusahaan afiliasi. Hubungan usaha semacam ini sering diawasi oleh otoritas pajak, karena ada kemungkinan harga yang ditetapkan antarperusahaan dalam satu grup tidak mencerminkan harga pasar wajar. Hal inilah yang kemudian menjadi sumber sengketa antara PT IUPD dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Pada Tahun Pajak 2019, DJP melakukan pemeriksaan dan menetapkan dua koreksi terhadap PT IUPD. Pertama, koreksi penyesuaian fiskal positif atas peredaran usaha sebesar Rp260.531.250, karena DJP menilai harga jual CPKO kepada pihak afiliasi terlalu rendah. Kedua, koreksi penyesuaian fiskal positif sebesar Rp5.270.216.842 atas pendapatan bunga, karena DJP menganggap tingkat suku bunga pinjaman yang digunakan oleh PT IUPD tidak mencerminkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU).
Dalam koreksi pertama, DJP berpendapat bahwa harga jual CPKO yang diterapkan PT IUPD kepada pihak afiliasi lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar internasional. Menurut DJP, hal ini disebabkan oleh penyesuaian harga yang dilakukan PT IUPD terhadap harga acuan internasional dengan mengurangi beberapa komponen biaya seperti ongkos kirim (freight), pungutan ekspor (levy), dan pajak ekspor. DJP menilai penyesuaian tersebut tidak tepat, karena transaksi yang dilakukan PT IUPD bersifat penjualan dalam negeri (domestik), bukan ekspor. Oleh karena itu, biaya-biaya ekspor seharusnya tidak menjadi faktor pengurang dalam penentuan harga jual. Dari sudut pandang DJP, pengurangan tersebut membuat harga jual menjadi lebih rendah dari nilai wajarnya, sehingga berpotensi menurunkan laba kena pajak yang seharusnya dilaporkan di Indonesia.
Namun, PT IUPD menolak pandangan tersebut. Menurut PT IUPD, transaksi penjualan CPKO kepada pihak afiliasi telah dilakukan secara wajar dan diuji dengan metode Comparable Uncontrolled Price (CUP), karena tersedia harga pembanding yang dapat diandalkan. PT IUPD menggunakan harga pasar internasional dari Reuters sebagai acuan, mengingat referensi tersebut lazim digunakan dalam industri kelapa sawit.
Harga pasar CPKO yang tercantum pada Reuters didasarkan pada syarat pengiriman CIF Rotterdam, yaitu harga yang sudah termasuk ongkos kirim dan asuransi hingga pelabuhan di Eropa. Sementara transaksi PT IUPD dilakukan dengan syarat FOB Padang, di mana barang diserahkan di pelabuhan Indonesia tanpa biaya kirim ke luar negeri. Untuk menyesuaikan perbedaan kondisi ini, PT IUPD melakukan adjustment dengan mengurangi komponen biaya yang tidak berlaku dalam transaksi domestik, yaitu freight (ongkos kirim), levy (pungutan ekspor), dan pajak ekspor.
Setelah penyesuaian tersebut, diperoleh harga bersih sebesar USD 575 per metrik ton, yang berlaku sama untuk penjualan ekspor maupun lokal. Menurut PT IUPD, hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan harga yang diterapkan telah sebanding dan mencerminkan harga pasar yang wajar (fair market value). Seluruh kertas kerja perhitungan dan dokumentasi pendukung juga telah disampaikan kepada DJP sebagai bukti transparansi.
Selain itu, PT IUPD menegaskan bahwa seluruh kebijakan harga ditetapkan bersama oleh dua pemegang sahamnya yakni PT STNI (WLM Grup) dan PT ICR yang masing-masing memiliki kepemilikan sebesar 50%. Dengan struktur kepemilikan yang seimbang, keputusan perusahaan, termasuk dalam penetapan harga jual, dilakukan secara bersama dan tidak sepihak. Oleh karena itu, PT IUPD menilai bahwa penentuan harga telah dilakukan secara komersial dan sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) sebagaimana diatur dalam PER-32/PJ/2011 dan PER-22/PJ/2013.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa pokok permasalahan dalam perkara ini adalah apakah harga jual Crude Palm Kernel Oil (CPKO) yang diterapkan PT IUPD telah mencerminkan harga pasar yang wajar. Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan argumen, Majelis berpendapat bahwa penentuan harga jual CPKO oleh PT IUPD telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Perusahaan telah menggunakan metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) dengan acuan harga internasional dari Reuters, yang diakui luas sebagai referensi dalam industri minyak sawit.
Majelis menilai penyesuaian (adjustment) terhadap freight, pungutan ekspor (levy), dan pajak ekspor (bea keluar) merupakan langkah yang wajar agar harga CIF Rotterdam dapat dibandingkan secara setara dengan kondisi transaksi domestik FOB Padang. Penolakan DJP terhadap penyesuaian ini dianggap tidak berdasar. Majelis menegaskan bahwa DJP tidak dapat membuktikan adanya pembanding lain yang lebih relevan dan andal untuk transaksi sejenis. Dengan demikian, metode dan perhitungan yang digunakan oleh PT IUPD dinilai telah mencerminkan penerapan prinsip transfer pricing yang tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Majelis berkesimpulan bahwa harga jual CPKO kepada pihak afiliasi terbukti wajar, sehingga koreksi positif atas penyesuaian fiskal senilai Rp260.531.250 tidak dapat dipertahankan.
Dalam koreksi kedua, DJP menilai suku bunga pinjaman yang diterapkan PT IUPD kepada afiliasinya tidak wajar karena hanya menggunakan rata-rata suku bunga pinjaman dari beberapa bank yang memberikan fasilitas kredit kepada entitas dalam WLM Grup. DJP berpendapat bahwa data tersebut tidak dapat dianggap pembanding internal yang valid karena tidak berasal dari transaksi langsung antara PT IUPD dan pihak independen. Selain itu, DJP menambahkan bahwa PT IUPD tidak menyertakan dokumen sumber yang lengkap mengenai data bunga pinjaman dan dasar perhitungannya. Oleh karena itu, DJP menggunakan pembanding eksternal berupa suku bunga pinjaman modal kerja dalam rupiah sebagaimana dipublikasikan dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) oleh Bank Indonesia, untuk menentukan tingkat bunga yang dianggap wajar di pasar domestik.
PT IUPD tidak setuju dengan koreksi tersebut. Menurut PT IUPD, tingkat suku bunga pinjaman telah dihitung berdasarkan rata-rata suku bunga pinjaman dari bank independen seperti Bank Mandiri, BCA, dan Standard Chartered yang memberikan pinjaman kepada perusahaan lain dalam WLM Grup. PT IUPD menganggap pendekatan ini sudah memenuhi prinsip kewajaran karena sumber datanya berasal dari pihak independen dan diterapkan konsisten di seluruh entitas WLM Grup. Perusahaan juga menyertakan dokumen pendukung seperti surat konfirmasi dan bukti komunikasi dengan bank untuk menunjukkan bahwa bunga yang digunakan mencerminkan kondisi pasar.
Setelah menilai bukti dan argumen kedua pihak, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa sengketa ini bersifat pembuktian, yaitu mengenai kewajaran tingkat bunga pinjaman dalam transaksi afiliasi antara PT IUPD dan pihak berelasi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa pembanding internal pada dasarnya lebih andal dibandingkan pembanding eksternal karena lebih mencerminkan kondisi dan risiko transaksi yang sebenarnya. Dalam hal ini, data SEKI dari Bank Indonesia dianggap terlalu umum karena tidak mempertimbangkan karakteristik pinjaman seperti jaminan, tenor, maupun profil debitur, sehingga tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang sebanding.
Sebaliknya, PT IUPD telah menggunakan pembanding internal berupa rata-rata suku bunga pinjaman dari bank-bank independen seperti Bank Mandiri, BCA, dan Standard Chartered, yang memberikan fasilitas kredit kepada entitas lain dalam WLM Grup. Majelis menilai bahwa pendekatan tersebut secara prinsip lebih relevan dan menggambarkan transaksi nyata antara pihak independen dengan entitas dalam grup. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyimpulkan bahwa tingkat bunga yang diterapkan PT IUPD telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU), sehingga koreksi DJP atas pendapatan bunga pinjaman sebesar Rp5.270.216.842 tidak dapat dipertahankan.
Dari keseluruhan perkara ini, Majelis menegaskan bahwa analisis kewajaran harus selalu didasarkan pada bukti konkret dan kondisi ekonomi yang benar-benar sebanding. Kasus PT IUPD menjadi pengingat penting bagi pelaku usaha untuk menyiapkan dokumentasi dan justifikasi teknis secara menyeluruh sejak awal, baik terkait penentuan harga maupun tingkat bunga pinjaman antar afiliasi. Bagi DJP, putusan ini juga menjadi refleksi bahwa analisis transfer pricing perlu dilakukan dengan pembanding yang setara dan relevan dengan karakteristik bisnis yang diuji. Pendekatan yang berlandaskan bukti nyata, bukan asumsi, akan memperkuat akurasi koreksi sekaligus memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dan otoritas pajak.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini.